I. PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Perjanjian ACFTA adalah perjanjian perdagangan antara Negara-negara di ASEAN dengan Negara Cina. Dimana sudah efektif berjalan pada bulan Januari 2010. Sudah hampir setahun memang perjanjian ini telah berlalu, terlepas dari berbagai macam kontroversi akan pemberlakuan perjanjian ini. Terutama sejak diratifikasinya Perjanjian Perdagangan ini pada 2 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People’s Republic of China (Kerangka Perjanjian). Dari Framework Agreement ini dilanjutkan dengan tiga buah kesepakatan perdagangan dibidang barang tanggal 29 November 2004, Agreement on Trade and Service atau kesepakatan perdagangan dibidang jasa pada tanggal 14 Januari 2007 dan Agreement on Investment atau kesepakatan dibidang investasi pada tanggal 15 Agustus 2007 (Muchtar A.F., 2010). Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor dikeduabelah pihak (ASEAN dan Cina) adalah nol untuk sebagian besar komoditas.
Banyak kalangan yang menentang akan pemberlakuan perjanjian ini, terutama bagi para pelaku bisnis, tapi tidak sedikit pula yang menyetujuinya terutama dari kalangan birokrat pemerintahan. Bagi yang kontra, mereka beralasan bahwa Indonesia belum benar-benar siap jika perjanjian ini dijalankan. Baik dari segi penyediaan sarana prasarana, regulasi, kesiapan masyarakatnya, dan terlebih produk-produk di Indonesia kurang bisa bersaing dengan produk-produk yang diproduksi oleh Negara lain. Namun dari kalangan yang pro beralasan bahwa suatu perdagangan Internasional itu merupakan sesuatu yang tidak bisa untuk dihindarkan. Mengingat kita sekarang berada pada tatanan globalisasi, dimana berbagai macam aspek saling terintegrasi antar Warga Negara di seluruh dunia terutama dari segi ekonomi. Perdagangan Bebas hakikatnya telah merepresentasikan hal tersebut. Dimana terdapat suatu hubungan interdependensi disitu. Karena setiap Negara memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Ada Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam namun kurang produktif industrinya seperti Indonesia, ada juga Negara yang miskin akan Sumber Daya Alam namun produktivitas masyarakatnya tinggi. Karena kebutuhan masing-masing individu yang sifatnya tidak tebatas, maka secara alami akan terbentuk suatu pertukaran disitu dimana direpresentasikan dalam kegiatan perdagangan Internasional. Arus barang, jasa, ide, dan informasipun mengalir secara deras dan tidak bisa lagi untuk dibendung. Kalaupun diusahakan untuk dibendung, pasti akan bocor juga, yaitu dengan banyak muncul Black-market yang justru malah merugikan Negara tersebut. Karena tidak memberikan kontribusi masukan ke anggaran Negara tersebut. Terlebih dari masyarakatnya yang akan terbatasi pilhannya didalam membeli suatu komoditas.
Terlepas dari itu semua, jika dilihat dari statistik kita memang tidak bisa menampik bahwa daya saing Indonesia secara global masih rendah. Menurut The Global Competitiveness Report (GCR) 2009-2010, dari 133 negara yang dinilai, posisi daya saing Indonesia pada tahun 2009-2010 berada pada peringkat ke-54. Daya saing merupakan seperangkat kelembagaan, kebijakan dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara (Martin et al, 2008). Sedangkan, tingkat produktivitas yang tinggi akan membawa kemakmuran yang berkelanjutan bagi suatu negara. Data statistik Kementerian Perdagangan RI juga menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS (Kementrian Perdagangan, 2009). Hal tersebut merupakan kelemahan Indonesia ketika sudah memasuki era Globalisasi Perdagangan. Sebenarnya masih banyak indikator-indikator lain yang menunjukkan kelemahan dan ketidaksiapan Indonesia didalam menghadapi Perdagangan Bebas semacam ACFTA, dimana akan dibahas lebih lanjut pada bab Pembahasan.
Namun persoalannya sekarang, bukan mengenai setuju atau tidak akan berlakunya Perjanjian Perdagangan ACFTA. Tapi berkenaan tentang bagaimana Indonesia mengoptimalkan berlakunya perjanjian tersebut, solusi untuk meningkatkan Daya Saing, dan upaya untuk meminimalisir risiko yang timbul dari adanya globalisasi (perdagangan) guna terciptanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang merata dan berkelanjutan (Dr. Mari Elka Pangestu dalam Key Notes Speech pada Seminar Nasional FSDE, 2010).
Menarik memang membicakan berbagai aspek mengenai implementasi ACFTA bagi perekonomian di Indonesia.Tapi yang perlu diingat bahwa globalisasi perdagangan bukanlah tujuan, melainkan hanya sebuah alat. Sedangkan tujuan utamanya adalah tercapainya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang tinggi, merata, adil, dan berkesinambungan.Untuk itulah penulis berusaha untuk menguak implementasi ACFTA dalam suatu kajian ilmiah yang berbentuk tulisan ini sebagai salah satu variabel independen yang mempengaruhi Kesejahteraan masyarakat Indonesia, terlebih sudah 1 tahun semenjak perjanjian tersebut diberlakukan. Sehingga hal tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengevaluasi apa saja yang telah dilakukan serta kinerja seluruh sektor Ekonomi di Indonesia, terutama pemerintah sebagai regulator-fasilitator dalam menghadapi ACFTA. Dengan begitu, akan terumuskan sejumlah resep strategi kebijakan yang lebih matang didalam menghadapi ACFTA tersebut tahun kedepannya.
I.B. Rumusan Masalah
Secara garis besar, permasalahan yang akan dicoba untuk dikuak penulis mengenai implementasi Perjanjian ACFTA bagi perekonomian di Indonesia selama periode berjalan didalam kajian ilmiah yang berbentuk tulisan ini, diantaranya:
1. Bagaimana posisi daya saing Indonesia secara global, terutama dengan Negara-negara yang terlibat dalam Perjanjian ACFTA?
2. Apa pengaruh atau efek dari implementasi perjanjian ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia?
3. Apakah perjanjian perdagangan ACFTA dapat mendukung pertumbuhan dan berkembangan Ekonomi yang merata dan berkelanjutan? Jika belum, upaya apa yang harus dilakukan?
4. Dimana posisi Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina sebagai pesaing utama? Apa representasi dari hal tersebut?
5. Bagaimana memaksimalkan peluang yang penuh ancaman dari perjanjian ACFTA ? Serta bagaimana strategi dan solusi seluruh sektor ekonomi di Indonesia didalam menghadapi perjanjian tersebut?
I.C. Tujuan Penulisan Makalah
Tulisan ini dibuat dengan beberapa tujuan, diantaranya:
1. Untuk menganalisa posisi Daya Saing Indonesia secara global, terutama dengan Negara-negara yang terlibat dalam ACFTA.
2. Menganalisa pengaruh dari implementasi perjanjian ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia
3. Untuk mengetahui apakah perjanjian ACFTA dapat mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merata dan berkelanjutan.
4. Menganalisa posisi Neraca perdagangan Indonesia-Cina
5. Menganalisa cara untuk memaksimalkan peluang yang penuh ancaman dari perjanjian ACFTA tersebut
I.D. Manfaat penulisan Makalah
Hasil kajian ilmiah yang berbentuk tulisan ini bermanfaat bagi berbagai pihak diantarnya: pemerintah sebagai regulator-fasilitator, para akademisi, para pelaku bisnis, para ekonom, dan masyarakat luas. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mendorong pemerintah untuk memaksimalkan peluang adanya perdagangan ASEAN Cina dengan meningkatkan daya saing produk Indonesia, perbaikan infrastruktur, dan penghapusan ekonomi biaya tinggi.
2. Bagi para akademisi, makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan kajian untuk lebih mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan terutama yang bersifat aplikatif.
3. Membantu para pelaku bisnis untuk mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan tentang ACFTA, sehingga dapat digunakan sebagai strategi dalam menghadapi persaingan dan upaya memperluas pangsa pasar.
4. Memicu para ekonom untuk lebih berfikir kritis dan lebih menaruh perhatian terhadap fenomena ekonomi yang sedang terjadi sekarang ini, khususnya ACFTA. Sehingga terumus strategi integrasi Nasional dalam menghadapi ACFTA
5. Memberikan penyadaran kepada semua lapisan masyarakat bahwa sekarang mereka telah dihadapkan dengan fenomena ACFTA
I. PEMBAHASAN
Fenomena adanya Perjanjian ACFTA merupakan suatu bentuk regionalisasi didalam hal perdagangan Internasional. Negara-negara yang termasuk dalam perjanjian ini, membentuk semacam aturan main tersendiri untuk mengatur dan mengikat segala hal yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan antar Negara-negra tersebut. Kesepakatan ini esensinya merupakan suatu hal yang muthlak dibutuhkan untuk membendung dan sebagai sarana proteksi diri terhadap ketidakseimbangan kekuatan perekonomian dengan Negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Dimana seperti telah diketahui, antar Negara Eropa secara lebih dulu telah membentuk suatu perjanjian Regionalisasi Perdagangan Internasional, yaitu Uni Eropa.
Blok perdagangan antar Negara ASEAN dan Cina timbul dengan dilatar belakangi oleh pergeseran keseimbangan kekuatan Ekonomi yang mulai bergerak dari Eropa ke Asia pascakrisis yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini terlihat dari peforma perekonomian dari Negara Cina yang menunjukkan peningkatan yang sangat mengesankan. Yang mana ditunjukkan dengan indikator besarnya tingkat pertumbuhan Ekonomi di Negara tersebut dimana selalu berada dilevel 10% per tahun, sering surplusnya Neraca perdagangan, dan besarnya cadangan devisa yang dimiliki. Serta besarnya PDB yang dimiliki, yaitu mencapai US$ 2.224 miliar pada tahun 2005 (ADB 2007).
Perekonomian Cina yang menjadi primadona memang tak lepas dari 2 faktor penting diantaranya: besarnya Sumber Daya Alam Negara tersebut dan penduduk yang melimpah. Maka tak hayal Cina mampu mengambil alih hegemoni perekonomian dari tangan Amerika. Mengingat, Negara Amerika terutama setelah terjadinya krisis 2008, menunjukkan perform perekonomian yang buruk. Diantaranya: meningkatnya pengangguran, membengkaknya defisit Negara tersebut, dan pertumbuahan ekonomi yang rendah.
Melihat hal tersebutlah, para petinggi ASEAN memutuskan untuk mau bekerjasama dalam hal perdagangan bebas dengan Negara Cina yang tertuang didalam perjanjian ACFTA tersebut. Dimana gagasan pembentukan ACFTA untuk pertama kalinya disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-7 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, pada November 2001. Ketika itu ASEAN menyetujui pembentukan ACFTA dalam waktu 10 tahun yang dirumuskan dalam ASEAN-Cina Framework Agreement on Economic Cooperation yang disahkan pada KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja, November 2002.
Dalam rangka ACFTA, barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan
Cina yaitu sebanyak 5.250 kategori produk wajib diimplementasikan penurunan/penghapusan tarifnya dengan mengikuti skema dan waktu sebagai
berikut (Cordenilo,2005):
1.Early Harvest Program (EHP) yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2004
secara bertahap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, dengan tarif bea masuk
untuk produk yang termasuk EHP sejumlah 449 produk menjadi 0%.
2.Normal Track I, sejumlah 3.913 kategori produk dengan penurunan tarif bea
masuk menjadi 0% mulai tahun 2005.
3.Normal Track II, sejumlah 490 kategori produk dengan penurunan bea masuk
mulai tahun 2012.
4.Sensitive/Higly sensitive, sebanyak 398 kategori produk yang jumlah
penurunannya masih dirundingkan sampai saat ini.
ASEAN dan Cina menyetujui dibentuknya ACFTA dalam dua tahapan waktu
yaitu: tahun 2010 dengan Negara pendiri ASEAN, yang meliputi Thailand,
Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina, dan pada tahun 2012 dengan kelima Negara anggota baru ASEAN yakni Brunei Darusalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar). Tarif ACFTA selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1
ACFTA Preferential Tariff Rate
Sumber : Asean Secretariat, 2009
II. A. Tingkat Daya saing Indonesia
Globalisasi perekonomian menuntut setiap Negara untuk senatiasa meningkatkan Daya Saing untuk memperoleh Positive Benefits dari adanya Globalisasi Perekonomian tersebut, terlebih Indonesia didalam menghadapi ACFTA. Sebagai Negara yang besar, Indonesia sebenarnya baik kuantitas SDMnya maupun kuantitas SDAnya. Harusnya dengan adanya perdagangan bebas, dapat dioptimalkan dengan menambah pangsa pasar produk Indonesia ke Luar Negeri. Namun, hal tersebut tidak akan tercapai jika Daya Saing yang dimilki rendah.
Tingkat Daya Saing global suatu Negara diukur berdasarkan pada 12 pilar penilaian, yang mana keduabelas pilar tersebut terbagi menjadi menjadi tiga golongan umum, yaitu: Basic Requirements, Effeciency Enhancer, dan Innovation and Sophistication Factors.
Ironisnya, Indonesia walaupun merupakan Negara yang besar, ternyata memiliki Daya saing global yang rendah. Berdasarkan data statistik dari The Global Competitiveness Report 2004 – 2011, World Economic Forum, pada periode tahun 2009-2010 Indonesia berada pada ranking 54 dari 139 Negara anggota APEC. Atau dengan kata lain naik satu tingkat dari periode sebelumnya. Coba bandingkan dengan Singapore. Walaupun Negara ini memiliki jumlah penduduk yang sedikit, sekitar 3 juta jiwa, tapi memiliki Daya Saing Internasional yang tinggi. Dalam hal ini menempati ranking 3 pada periode 2009-2010 atau naik dua tingkat dari periode sebelumnya (periode 2008-2009). Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel dibawah ini.
Tabel 2
GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX RANKING IN APEC MEMBER ECONOMIES; 2004 – 2011 (Rank)
Source : The Global Competitiveness Report 2004 – 2011, World Economic Forum (139 countries).
Pertanyaannya sekarang, apa yang menyebabkan daya saing Indonesia secara global itu rendah? Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Daya Saing Indonesia rendah, diantaranya:
1. Jumlah UMKM yang mendominir usaha di Indonesia (99,99% dari total unit usaha). Berikut ini adalah tabel persebaran jumlah unit Usaha menurut skalanya pada tahun 2007-2008.
Tabel 3
Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha Tahun 2007 dan 2008
No.
|
Unit Usaha
|
Tahun 2007
|
Tahun 2008
|
1.
|
Usaha Mikro
|
49,287,276
|
50,697,659
|
2.
|
Usaha Kecil
|
498,565
|
520,221
|
3.
|
Usaha Menengah
|
38,282
|
39,657
|
Jumlah UMKM
|
49,824.123
|
51,257,443
| |
Usaha Besar
|
4,577
|
4,372
| |
JumlahEnterprise
|
49,828,700
|
51,261,815
|
Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2009
Dengan komposisi sektor usaha yang sangat didominasi oleh usaha yang sifatnya UMKM, maka akan membuat Indonesia lemah dalam perdagangan Internasional. Hal tersebut dikarenakan, keterbatasan-keterbatasan dari usaha UMKM tersebut, baik keterbatasan kemampuan, permodalan, produktivitas, manajemen usaha, sampai pada pemasaran.
Tabel 4
Jumlah Unit Usaha UMKM Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2008
No.
|
Lapangan Usaha
|
Usaha Kecil
|
Usaha Mikro
|
Usaha Menengah
|
Jumlah UMKM
|
1.
|
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan
Perikanan
|
26,398,113
|
1,079
|
1,677
|
26,400,869
|
2.
|
Pertambangan dan Penggalian
|
258,974
|
258,974
|
260
|
261,341
|
3.
|
Industri Pengolahan
|
3,176,471
|
53,458
|
8,182
|
3,238,111
|
4.
|
Listrik, Gas dan Air
Bersih
|
10,756
|
551
|
315
|
11,622
|
5.
|
Bangunan
|
159,883
|
12,622
|
1,854
|
174,359
|
6.
|
Perdagangan, Hotel
dan Restoran
|
14,387,690
|
382,084
|
20,176
|
14,789,950
|
7.
|
Pengangkutan dan Komunikasi
|
3,186,181
|
17,420
|
1,424
|
3,205,025
|
8.
|
Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan
|
970,163
|
23,375
|
3,973
|
997,511
|
9.
|
Jasa-jasa
|
2,149,428
|
27,525
|
1,796
|
2,178,749
|
Jumlah
|
50,697,659
|
520,221
|
39,657
|
51,257,537
|
Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2009
Dari tabel 4 tersebut dapat juga dilihat, bahwa komposisi terbesar dari UMKM adalah dari Lapangan Usaha yang masih bergerak pada eksploitasi dan eksplorasi alam, yaitu: pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Dari segi ekonomi, struktur/komposisi yang demikian tidaklah bagus, karena tidak akan menghasilkan added value disitu. Padahal nilai tambah suatu komoditas akan memberikan kontribusi yang besar terhadap GDP.
2. Infrastruktur yang kurang memadai
Infrastruktur merupakan suatu hal yang penting esensinya untuk menunjang peningkatan Daya saing Indonesia. Walaupun bersifat nonteknis, namun dengan infrstruktur yang memadai akan tercipta aksesbilitas yang baik, konektivitas yang tinggi, dan hal-hal lain yang berfungsi untuk memperlancar proses produksi dan distribusi suatu komoditas. Infrastruktur sendiri meliputi : jalan raya, pasokan listrik, sarana penerangan, dll. Di Indonesia, panjang jalan raya pada 2007 hanya sekitar 34.000 kilometer. Dari angka itu, 28 persen di antaranya dinyatakan sangat baik dan lebih dari 50 persen layak. Selebihnya, dalam keadaan rusak. Ditambah lagi operasional jalan, harga bahan bakar minyak yang mahal. Belum lagi listrik yang "byar-pet" menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Bandingkan dengan Cina. Di Cina, hingga 2007, jarak jalan raya untuk lalu lintas yang telah dibuka totalnya mencapai 3,57 juta kilometer. Sedangkan untuk pelabuhan, Cina setidaknya memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 megaton. Soal listrik, pada tahun lalu, Cina kabarnya akan mengoperasikan PLTA terbesar di dunia yang mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 84,7 triliun Kwh (Liputan6.com).
3. Regulasi Pemerintah mengenai pendirian usaha
Birokrasi yang berbelit-belit terhadap perizinan pendirian usaha merupakan masalah kompleks dan kalsik yang dialami Indonesia. Belum lagi masalah KKN yang direpresentasikan dengan praktik pungli, juga karena memang mahalnya untuk mendirikan usaha yang formal. Hal tersebut akan sangat mempersulit orang yang ingin berwirausaha secara legal. Legalitas sangat dibutuhkan untuk tetap tejaganya iklim usaha yang kondusif, memberikan proteksi, dan eksistensi suatu usaha akan tetap terjaga. Sehingga jika regulasi perizinan masih tidak terjadi perubahan, maka akan banyak muncul sektor usaha informal yang justru akan merepotkan pemerintah itu sendiri.
4. Bunga kredit usaha yang relatif tinggi, yaitu mencapai 14% dan jaminan untuk mendapatkan pinjaman tinggi mencapai 150% dari pokok pinjaman, rendahnya kualitas SDM Indonesia, dan rendahnya tingkat inovasi produk Indonesia.
Disini dapat disimpulkan bahwa banyak aspek yang membuat lemahnya daya saing yang dimiliki Indonesia secara global. Sehingga, dibutuhkan kerjasama dan integrasi oleh semua pihak untuk bersama-sama memperbaiki aspek yang perlu untuk diperbaiki. Terutama peran dari pemerintah itu sendiri yang sebagai fasilitator-regulator. Pemerintah Indonesia harus berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan industri. Mulai dari pengurusan izin usaha yang diproses dengan mudah dan cepat. Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang guna memacu ekspor, seperti jalan raya, pelabuhan angkut, dan ketersediaan tenaga listrik. Perlu diingat bahwa sektor usaha di Indonesia merupakan sektor yang skalanya mikro sampai menengah, sehingga pemerintah harus memberikan perhatian yang khusus pada usaha ini, agar usaha ini dapat berkembang menjadi besar. Perhatian khusus tersebut dapat diwujudkan dengan pemberian kredit usaha dengan bunga yang rendah dan lunak, penyediaan infrastruktur sampai pada maslah pemberian proteksi terhadap usaha ini.
II.B. Pengaruh dari Adanya Perjanjian ACFTA terhadap Perekonomian Indonesia
Semenjak digulirkanya ACFTA, banyak kalangan yang memprediksi bahwa perjanjian ACFTA akan membuat Perekonomian di Indonesia akan semakin memburuk. Hal tersebut tidaklah beralasan, karena sebelum ACFTA saja sudah banyak produk Cina yang membanjiri pasar di Indonesia. Harga barang-barang Cina murah jauh dibawah harga barang-barang yang diproduksi oleh pengusaha di Indonesia. Sebagai konsumen yang rasional, masyarakat Indonesia juga meminati produk-produk dari Cina karena pertimbangan harga. Hal ini memang baik bagi konsumen. Dengan semakin banyaknya produk muarah Cina yang membanjiri pasar Indonesia, maka konsumen akan semakin banyak opsi barang, akan memangkas pengeluaran mereka, menambah pilihan, akan semakin banyak bagian pendapatan yang bisa untuk ditabung, dan pada akhirnya akan menambah tingkat kesejahteraan meraka. Namun, hal tersebut adalah dampak jangka pendeknya.
Jika ditinjau dari jangka panjangnya, maka membanjirnya produk Cina justru malah akan merugikan perekonomian di Indonesia. Karena akan mendorong masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang konsumtif dan terjadi ketergantungan dengan produk-produk Cina. Dan dari segi eksistensi usaha-usaha di Indonesia, membanjirnya produk-produk Cina akan mengancam usaha-usaha domestik. Usaha-usaha di Indonesia terancam gulung tikar karena kalah berkompetisi/bersaing dengan Cina. Menurut Sri Adiningsih,PhD. Dosen FEB UGM sekaligus pakar studi Asia Pasifik menyebutkan, bahwa selain karena faktor harga barang Cina murah, Cina bisa menang dalam konteks ACFTA karena produk-produk Cina itu sifatnya mudah untuk diperoleh serta supply chainya yang pendek. Berkaitan dengan supply chain, hal ini merupakan masalah yang cukup serius juga bagi pemerintah Indonesia. Karena hal ini menyangkut maslah ketersediaan infrastruktur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa infrastruktur di Indonesia itu kurang memadai. Jadi, membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius karena mempengaruhi cost produksi juga. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing suatu produk juga.
Kemudian dengan semakin tingginya tingkat ketergantungan akan produk-produk Cina, maka dikhawatirkan akan semakin mengurangi tingkat produktivitas masyarakat di Indonesia. Sebelum ACFTA saja tingkat produktivitas masyarakat Indonesia cenderung rendah. Bahkan, sebelum ACFTA digulirkan saja tingkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia cenderung rendah jika dibandingkan dengan dengan Negara-negara ASEAN lainnnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 5
Total Produktivitas Negara ASEAN Menurut Tahun
Tahun
|
Indonesia
|
Malaysia
|
Philipine
|
Singapore
|
Thailand
|
Vietnam
|
1980-1988
|
-0,32
|
0,74
|
-2,34
|
-0,29
|
0,37
|
NA
|
1985-1989
|
-0,47
|
0,20
|
0,49
|
1,25
|
3,66
|
2,02
|
1990-1994
|
0,82
|
3,36
|
-1,68
|
2,33
|
2,14
|
4,12
|
1995-1999
|
-3,66
|
0,32
|
1,03
|
-0,41
|
-2,16
|
3,22
|
1980-2000
|
-0,80
|
0 1,29
|
-0,37
|
0,78
|
1,00
|
3,27
|
Sumber: Survei Report APO 2004
Dari survei yang dilakukan mulai tahun 1980-2000 terlihat bahwa tingkat produktivitas Indonesia tergolong rendah, bahkan terendah dari 7 Negara yang disurvei itu. Dibandingkan dengan Negara ASEAN saja Indonesia masih kalah bersaing dalam hal produktivitasnya. Apalagi jika dihadapkan dengan Cina yang notabenenya sekarang menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia. Sebagai pembanding, kalau di Cina untuk menyelesaikan suatu produk membutuhkan Tenaga Kerja sebanyak 1 orang, tapi kalau di Indonesia untuk menghasilkan produk yang sama memerlukan 3 orang tenaga kerja.
Hal tersebut sangatlah ironis. Padahal, salah satu hal pokok yang mampu mempengaruhi nilai GNP suatu Negara adalah berdasarkan tingkat produktivitas tenaga kerjanya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini.
Gambar 1 Perbandingan Produktivitas di Beberapa Negara ASEAN
(Sumber : ILO, 2007)
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan GDP itu berbanding lurus dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerjanya. Sehingga, jika produktivitas tenaga kerja Indonesia rendah, maka pertumbuhan GNP juga akan rendah. Hal terebut pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
II.C. Kondisi Makro Perdagangan Indonesia dengan Cina
Neraca perdagangan Indonesia-Cina menunjukkan bahwa sejak tahun 2004 produk Cina sudah masuk ke Indonesia. Bahkan sebelumnya produk-produk Cina tersebut sudah masuk, namun dalam jumlah tidak terlalu banyak. Kondisi ekspor dan impor tahun 2004 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa selama periode 2004 sampai 2007 Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan Cina. Namun pada tahun 2008 sampai 2009 mengalami defisit. Defisit disebabkan peran impor dari Cina meningkat pesat. Defisit neraca perdagangan tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Artinya bahwa daya saing produk Indonesia terhadap produk Cina mulai menaik.
Tabel 6
Neraca Perdagangan Indonesia Cina Tahun 2004-2009
No
|
Tahun
|
Ekspor ke Cina
(USD Juta)
|
Impor dari Cina
(USD Juta)
|
Neraca
(USD Juta)
|
1
|
2004
|
4.604
|
4.101
|
503
|
2
|
2005
|
6.662
|
5.842
|
820
|
3
|
2006
|
8.343
|
6.636
|
1.707
|
4
|
2007
|
9.675
|
8.557
|
1.118
|
5
|
2008
|
11.636
|
15.247
|
- 3.661
|
6
|
2009
|
11.499
|
14.002
|
- 2.502
|
Sumber: Badan Pusat Statistik
Untuk mengetahui darimana penyebab defisitnya Neraca Perdagangan Indonesia, Perhatikan gambar-gambar di bawah ini.
Gambar 2 : Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan Indonesia-Cina 2005–2009
Miliar US$
Gambar 3 : Neraca Perdagangan (NP) Non Migas Indonesia–Cina 2005-2009
Miliar US$
Gambar 4 : Neraca Perdagangan (NP) non Migas Indonesia–Cina Jan. 2009 & Jan. 2010
Gambar 5 : Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan (NP) Indonesia-Cina Jan. 2009 & Jan 2010.
Miliar US$
Sumber: BPS dan Kementerian Perdagangan, 2010 (Diolah).
Dari gambar 3 dan 4 terlihat bahwa penyebab defisitnya Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina adalah Defisitnya Neraca Perdagangan dari sektor Nonmigas. Pada gambar 3 menunjukkan kondisi yang terjadi dari tahun 2005-2009, sedangkan pada gambar 4 membandingkan kondisi yang terjadi per Januari 2010 dengan yang terjadi per Januari 2009. Sehingga, hal ini sangatlah riskan, mengingat Indonesia hanya unggul di sektor migas saja. Karena, migas merupakan sumber daya alam yang kelak akan habis. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan Indonesia menggantungkan diri pada sektor migas yang jelas kelak akan habis dan tidak tercipta added value.
Namun jika gambar-gambar dan tabel data tersebut diamati lagi, walaupun Indonesia mengalami Neraca Perdagangan yang Defisit dengan Cina akan tetapi kecenderungan defisit yang terjadi akibat sektor nonmigas memiliki kecenderungan yang menurun. Misalnya saja pada tahun 2008 Indonesia mengalami defisit dengan Negara Cina sebesar - 3.661 juta USD, pada tahun 2009, defisit Indonesia turun menjadi - 2.502 juta USD, begitu pula penurunan defisit yang terjadi antara periode per 1 Januari 2009 dengan per 1 Januari 2010. Tentunya hal ini sangat menggembirakan. Ternyata, Indonesia telah melakukan upaya perbaikan dan pembenahan untuk menghadapi ACFTA.
II.D. Strategi dan optimalisasi peluang terhadap pemberlakuan ACFTA
Di era globalisasi tentunya perdagangan bebas merupakan sesuatu hal yang tidak akan bisa dihindari oleh Negara manapun di dunia ini. Karena adanya independensi yang tinggi antar Negara di Dunia. Seperti halnya dengan perjanjian perdagangan bebas lain, perjanjian ACFTA juga dibentuk sebagai respon dari hal tersebut.
Perdagangan bebas sendiri bukan berarti perdagangan yang sebebas-bebasnya. Namun, tetap ada peran dan campur tangan dari pemerintah disitu untuk mengatur, memberi fasilitas, sampai pada pemberian proteksi bagi usaha-usaha domestik dari persaingan dengan perusahaan –perusahaan asing.
Pemerintah sekarang telah mengupayakan semua perjanjian perdagangan bebas terutama perjanjian ACFTA agar perjanjian bebas tersebut merupakan perjanjian perdangan bebas yang adil, berkarakter, transparan, dan jelas (Dr. Mari Elka Pangestu dalam Key Notes Speech pada Seminar Nasional FSDE, 18 Desember 2010). Hal tersebut merupakan komitmen dari pemerintah untuk mengoptimalkan perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA untuk tercapainya tujuan utama yaitu: mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang merata juga berkelanjutan.
Selain memperjuangkan perjanjian bebas yang berkarakter, adil, transparan, dan jelas melalui negosiasi-negosiasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah, ada hal-hal atau strategi lain yang perlu dilakukan guna mendapatkan keuntungan dari adanya perdagangan bebas tersebut. Dimana secara garis besar dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Strategi offensive
Strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendorong masuk produk-produk Indonesia ke pasar ASEAN dan Cina, yaitu dengan melalui:
Penguatan daya saing global Indonesia, meliputi penanganan isu-isu domestik: penataan lahan dan kawasan industri, pembenahan infrastruktur dan energi, pemberian insentif (pajak maupun non pajak lainnya), membangun KawasanEkonomi Khusus (KEK), perluasan akses pembiayaan dan pengurangan biaya bunga (KUR, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, modal ventura, keuangan syariah, anjak piutang, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dsbnya), pembenahan sistem logistik, perbaikan pelayanan publik (NSW, PTSP/SPIPISE dsb), penyederhanaan peraturan pemerintah mengenai perizinan pendirian usaha dan peningkatan kapasitas ketenagakerjaan.
Penguatan ekspor dengan penguatan peran perwakilan luar negeri,
pengembangan trading house, promosi pariwisata, perdagangan dan investasi, penanggulangan masalah akses pasar dan kasus ekspor, pengawasan penggunaan SKA Indonesia, peningkatan peran LPEI dalam mendukung pembiayaan ekspor dan optimalisasi trade financing.
2. Strategi Deffensive
Strategi ini dilakuakan dengan tujuan pemberian proteksi terhadap usaha-usaha dalam Negeri, terutama UMKM dari persaingan perdagangan bebas, terutama dengan usaha-usaha dari Cina. Yaitu dengan jalan:
Pengamanan pasar domestik melalui : (a) pengawasan di border dengan meningkatkan pengawasan ketentuan impor dan ekspor dalam pelaksanaan FTA, menerapkan Early Warning System untuk pemantauan dini terhadap kemungkinan terjadinya lonjakan impor, pengetatan pengawasan penggunaan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dari negara-negara mitra FTA, pengawasan awal terhadap kepatuhan SNI, label, ingridien, kadaluarsa, kesehatan, lingkungan, security dsb, penerapan instrumen perdagangan yang diperbolehkan WTO terhadap industri yang mengalami kerugian yang serius akibat tekanan impor dan penerapan instrumen anti dumping dan countervailing duties atas importansi yang unfair, (b) peredaran barang di pasar lokal meliputi task force pengawasan peredaran barang yang tidak sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen dan industri dan kewajiban penggunaan label dan manual berbahasa Indonesia, dan (c) promosi penggunaan produks dalam negeri dengan mengawasi efektivitas promosi penggunaa produksi dalam negeri (Inpres Nomor 2 Tahun 2009) termasuk mempertegas dan memperjelas kewajiban KLDI memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri revisi Kepres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa oleh Pemerintah (Pariaman Sinaga).
Perlu dilakukan koordinasi dan sinergitas aparat pusat dan daerah Hal ini diperlukan untuk menata produk-produk yang dapat diproduksi KUKM serta
menggalakkan pemakaian produksi dalam negeri
Yaitu melaui pengintensan slogan 100% Cinta produk indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan rasa nasionalisme akan produk dalam Negeri dengan selalu memakai, membeli, dan menggunakannya. Sehingga, usaha-usaha dalam Negeri mampu tetap eksis walau harus menghadapi serangan produk-produk Cina karena dukungan dari masyarakat Indonesia tersebut (Dr. Mari Elka Pangestu dalam Key Notes Speech pada Seminar Nasional FSDE, 18 Desember 2010).
II. KESIMPULAN DAN SARAN
III.A. Kesimpulan
Perdagangan Bebas merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan oleh setiap Negara di dunia ini termasuk Indonesia memasuki era globalisasi. Setiap Negara harus mau membuka diri, karena adanya interdependensi antar setiap Negara satu sama lainnya. Interdepndensi tersebut ditunjukkan dengan perbedaan teknologi, SDA, SDM, dan kemampuan antar setiap Negara. Sehingga, kekurangan setiap Negara akan ditutupi dan dilengkapi oleh kelebihan Negara lain dalam hal teknologi, SDA, SDM, dan kemampuan. Begitu pula sebaliknya.
Mengenai ACFTA, bukan masalah ya atau tidak, setuju atau tidak tentang pemberlakuannya. Kalaupun tidak setuju, perjanjian itu akan tetap terlaksana karena memiliki kekeatan hukum yang mengikat antar Negara-negara yang menandatanganinya. Yang perlu dilakukan adalah mengupayakan agar perjanjian perdagangan bebas tersebut dapat terlaksana dengan adil, jujur, transparan, jelas,dan berkarakter. Serta, mengoptimalkan keuntungan adanya perjanjian tersebut dan meminimalisir risiko adanya globalisasi dalam hal perdagangan bebas tersebut.
Perdagangan Bebas bukanlah merupakan suatu sasaran akhir yang hendak dikejar oleh pemerintah. Yang hendak digapai adalah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Nasional yang merata dan berkesinambungan. Perdagangan bebas hanyalah salah satu alat mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang demikian melaui upaya meraih positive benefits darai adanya globalisasi perdagangan tersebut.
Pada kenyataanya, Indonesia masih mengalami hambatan didalam menggapai positive benefits dari ACFTA tersebut. Faktor utama penyebabnya adalah masih rendahnya daya saing Indonesia secara global. Sehingga, peningkatan daya saing perlu dilakukan oleh semua pihak agar Indonesia menjadi Negara yang unggul dan sejahtera.
Namun, Indonesia sebenarnya masih memiliki peluang. Yaitu besarnya penduduk Indonesia dan melimpahnya Sumber Daya Alam di Indonesia. Tinggal bagaimana memanfaatkan potensi pangsa pasar yang besar dan pemanfaatan Sumber Daya Alam sebagai bahan baku produksi.
III.B. Saran
Agar Indonesia mampu untuk tetap eksis didalam menghadapi perdagangan Bebas, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya saingnya. Yaitu dengan cara:
1. Pembenahan dan perbaikan Infrastruktur serta logistik
2. Penyederhanaan perizinan usaha
3. Pemberian Kredit Usaha dengan bunga yang ringan, tapi tanggal jatuh temponya yang panjang
4. Pengembangan teknologi informasi dan transportasi guna meminimalisir costs
5. Reformasi terhadap semua regulasi yang berkaitan tentang aktivitas perekonomian, terutama menyangkut masalah perdagangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan Ekonomi Biaya Tinggi yang selama ini telah melekat pada Indonesia
6. Mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik Investor baik damestik maupun luar negeri
7. Menumbuhkan rasa Nasionalisme (bangga) akan pemakaian produk yang berasal yang dihasilkan oleh Usaha di dalam Negeri
8. Karena hampir 99% usaha di Indonesia tergolong berskala UMKM, maka pemerintah harus memberikan perhatian khusus akan sektor ini. Selain masalah kredit dan penyediaan infrastruktur, pemerintah harus memberikan proteksi dan pembinaan yang terpadu terhadap sektor usaha ini. Agar usaha ini menjadi besar dan mampu bersaing dengan usaha dari Luar Negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri. 2010. “Dampak ACFTA pada Indonesia”. Disampaikan dalam Seminar Nasional “Dampak Perdagangan Bebas terhadap Negara Berkembang : Dalam Kasus Indonesia” 18 Desember 2010. Yogyakarta: Forum Studi dan Diskusi Ekonomi 2010 HIMIESPA FEB UGM.
Asean Web. 2010. “Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and the People’s Republic of Cina. Phnom Penh, 4 November 2002”. Dalam ASEANWEB, file;//E\ACFTA\13196.htm. Diakses tanggal 16 Desember.
ASEAN Secretariat. ACFTA Preferential Tariff Rate Tahun 2009.
Badan Pusat Statistik. 2009. “Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha Tahun 2007 dan 2008”. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. “Jumlah Unit Usaha UMKM Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008”. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. “Neraca Perdagangan Nasional Tahun 2004-2009”. Jakarta.
Cordenillo, Raul. 2005. “Manfaat Ekonomi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA)”. Dalam http://www.aseansec.org. Diakses Desember 2010.
ILO. 2007. Perbandingan Produktivitas di Beberapa Negara ASEAN.
Kementerian Perdagangan. Laporan Ekspor-Impor Indonesia Tahun 2009.
Samuelson dan Nordhaus. 2005. Economics. Cetakan ke 18. New York: The McGraw Hill Companies.
Sijabat, Saudin. 2010. “Prediksi Dampak Dari Pelaksanaan ACFTA Terhadap Koperasi dan UMKM”. Jakarta Selatan: Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta.
Sinaga, Pariaman. 2010. “Kajian Awal terhadap Kebijakan ACFTA dan Kaitannya dengan KUKM”. Jakarta Selatan: Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta.
Srinarni, Endah. 2010. “Meningkatkan Daya Saing UMKM dalam Menghadapi ASEAN-China Free Trade Agremeent (ACFTA)”. Jakarta Selatan: Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta.
Survei APO Tahun 2004. Total Produktivitas Negara ASEAN Menurut Tahun.
Triyadi, Bogi. 2010. “Kado Pahit awal Tahun UMKM dari Adanya ACFTA”. Dalam http://www.Liputan 6.com./globe/print doc/258439/11/01/2010 15.15. Diakses Kamis 16 Desember 2010 pukul 16.30.
United Nations Development Programme. Global Competitiveness Report tahun 2004-2011.